Blogger news

Welcome In Indah'S Blog

PENDIDIKAN DAN PERUBAHAN PERILAKU


BAB I
PENDIDIKAN
A.     Tujuan Pendidikan Islam
Imam Ghozali berpendapat bahwasannya tujuan dari pendidikan ialah mendekatkan diri kepada Allah, bukan pangkat dan bermegah-megahan dengan kawan. Yang dimaksud tujuan pendidikan adalah target yang ingin dicapai  suatu proses pendidikan. Dengan kata lain, pendidikan dapat mempengaruhi performance manusia.([1])
Tujuan pendidikan islam mencakup tiga aspek, yaitu aspek kognitif yang meliputi pembinaan nalar, seperti kecerdasan, kepandaian dan daya pikir; aspek efektif yang meliputi pembinaan hati, seperti pengembangan rasa, kalbu dan rohani; dan aspek psikomotorik yang meliputi pembinaan jasmani, seperti kesehatan badan dan ketrampilan.
Para ahli pendidikan islam telah sepakat bahwa maksud dari pendidikan dan pengajaran bukanlah memenuhi otak anak didik dengan segala macam ilmu yang belum mereka ketahui. Tetapi maksudnya adalah mendidik akhlaq dan jiwa mereka, menanamkan rasa fadhilah, membiasakan mereka dengan kesopanan yang tinggi, mempersiapkan mereka untuk suatu kehidupan yang suci, seluruhnya ikhlas dan jujur. Maka tujuan pokok yang utama dari pendidikan adalah mendidik budi pekerti dan pendidikan jiwa.([2])
Menurut al-Ghozali, kebahagiaan dunia akhirat merupakan suatu yang paling esensi bagi manusia. Kebahagiaan dunia dan akhirat memiliki nilai universal, abadi dan lebih hakiki. Sedangkan sarana pokok untuk mencapai tujuan pendidikan terdiri dari materi pendidikan, artinya anak didik harus disiapkan seperangkat materi (kurikilum) yang siap untuk dipelajari Disamping itu pendidik juga harus mempunyai metode pengajaran yang dapat mendukung proses belajar secara baik.([3])  
B.     Metodologi Pengajaran Agama Menurut Al – Ghozali
Sebagaimana disinggung di atas bahwa konsepsi pendidikan al-Ghozali sangat dipengaruhi oleh sufisme. Maka dalam metode pendidikan seorang anak, al-Ghozali menekankan pada upaya pembersihan jiwa dengan cara ibadah, mengenal dan mendekatkan diri pada Allah Swt. Al-Ghozali menyadari bahwa hanya pendidikan agamalah yang mampu secara dini mengarahkan anak didik untuk “dekat” kepada Allah. Maka dalam metode pembelajaran usia dini, al-Ghozali menempatkan dasar-dasar pendidikan agama sebagai priorotas utama.([4])
Dalam konteks ini al-Ghozali tidak menempatkan ilmu agama sebagai ilmu yang berdiri sendiri.  Ia menjadi penting dan prioritas karena berfungsi sebagai pintu pembuka isteraksi antara Tuhan dengan makhluqnya dan harus diupayakan sejak dini. Dengan demikian diyakini bahwa ilmu agama bukanlah satu-satunya ilmu yang dapat mengantarkan manusia menjadi lebih dekat kepada Tuhan. Ilmu pengetahuan apapun adalah sarana menuju Tuhan jika manusia sejak dini telah menyadari bahwa eksistensinya di dunia menuntutnya untuk berorientasi kepada kehidupan di akhirat. Pada akhirnya segala ilmu pengetahuan yang memberikan kebaikan di dunia dan akhirat itu penting untuk dipelajari.
Dalam persoalan-persoalan prinsip keagamaan, metode pengajaran agama al-Ghozali di mulai dengan menghafal, lalu memahami, kemudian mempercayai dan menerima. Selanjutnya penyajian bukti-bukti argumentatif untuk memperkuat ajaran yang telah diterima.
Al-Ghozali juga menyarankan agar pendidik memperhatikan klasifikasi anak didik. Hal ini berkaitan dengan pemilihan materi pengajaran dan ilmu pengetahuan. Al-Ghozali menyatakan, “orang yang lemah kemauan atau lemah penalaran ya agar tidak diberi ilmu pengetahuan yang dapat mengakibatkan munculnya keraguan dan kekacauan nalar, seperti pengetahuan filsafat dan matematika”.klasifikasi ini mengarah pada kemampuan nalar didik tanpa harus memperhatikan faktor umur. Sedangkan mengenai materi pendidikan yang layak diajarkan kepada anak didik, al-Ghozali memberikan kriteria; pertama, materi yang bermanfaat bagi manusia dalam upaya mewujudkan sebuah kehidupan yang religius seperti pendidikan, etika, atau yang lain. Kedua, materi pendidikan memberikan kemudahan dan dukungan kepada manusia untuk mempelajari ilmu agama, seperti ilmu bahasa, gramatika, dan lainnya. Ketiga, materi pendidikan yang bermanfaat untuk bekal kehidupan dunia, seperti kedokteran. Keempat, materi pendidikan yang bermanfaat dalam membangun kebudayaan dan peradaban, seperti sejarah, sastra, politik dan lainnya.([5])

C.     Evaluasi Pendidikan Menurut Al – Ghozali
Evaluasi adalah suatu proses penafsiran atas kemajuan, capaian, pertumbuhan dan perkembangan anak didik untuk tujuan pendidikan. Pelaksanaan evaluasi menemukan relevansinya guna mengetahui tingkat keberhasilan seorang pendidik dalam tugas mengajarnya. Evaluasi juga berfungsi untuk menemukan kelemahan-kelemahan yang dilakukan dalam proses pengajaran: baik yang berkaitan dengan materi, metode maupun komponen yang lainnya.([6])
Al-Ghozali berpendapat bahwa evaluasi hasil pendidikan adalah evaluasi atas kehidupan dengan segala cobaannya. Pendidikan bukan sekedar persiapan untuk hidup, melainkan ia merupakan kehidupan itu sendiri. Kalau merupakan suatu kehidupan, Orang yang menghadapi evaluasi dari depan haruslah benar-benar muncul dari kehidupan itu. Dari sini nampak jelas bahwa evaluasi yang ditawarkan al-Ghazali tidak sekedar menggunakan item yang verbalistik akan tetapi bersifat integral.






BAB II
PERUBAHAN PERILAKU
A.  Perubahan sosial
Sebuah masyarakat di manapun mereka berada, biasanya memiliki nilai-nilai yang telah disepakati dan dipegangi bersama. Namun adakalanya nilai tersebut yang positif serta adakalanya yang negatif. Sejak Islam diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad masyarakat yang pertama kali dihadapi adalah masyarakat Arab Jahiliyah.([7])
Ketika Islam bersentuhan kepada masyarakat yang sebelumnya telah memiliki nilai yang dipegangi ada beberapa sikap yang dilakukan oleh Islam, pertama terhadap sikap, perilaku dan nilai yang positif seperti semangat, keberanian,kedermawanan serta kebaktian kepada kelompok, Islam bersikap pro aktif dan kooperatif untuk menerima dan mengembangkannya. Kedua terhadap sikap, perilaku serta nilai yang tercela seperti politeisme, syirik, dan segala bentuk kedzaliman, Islam menolak dan meluruskannya.
Perubahan positif akan terlaksana, jika dapat memahami dan menghayati nilai-nilai kandungan al-Qur’an. Di mana al-Qur’an berfungsi sebagai pendorong dan pemandu demi berperannya manusia secara positif dalamk bidang kehidupan.
Dalam pandangan al-Qur’an, perubahan akan terlaksana jika dipenuhi dua syarat pokok yaitu:
Pertama adanya nilai atau ide dimana yang telah tertuang dalam petunjuk al-Qur’an dan penjelasan Rasulullah.
Kedua adanya pelaku-pelaku yang menyesuaikan diri dengan nilai-nilai tersebut. Dalam hal ini adalah manusia-manusia yang hidup dalam suatu tempat dan yang selalu terikat dengan hukum-hukum masyarakat yang telah ditetapkan, di mana manusia adalah pelaku perubahan sekaligus yang menciptakan sejarah.
Al-Qur’an sering memotret tipe masyarakat yang enggan untuk diajak menuju perubahan. Perilaku mereka hanya didasarkan pada kerutinan dan kebiasaan yang mereka lakukan. Gambaran tersebut disampaikan dalam ayat:
#sŒÎ)ur Ÿ@Ï% óOçlm; (#öqs9$yès? 4n<Î) !$tB tAtRr& ª!$# n<Î)ur ÉAqߧ9$# (#qä9$s% $uZç6ó¡ym $tB $tRôy`ur Ïmøn=tã !$tRuä!$t/#uä 4 öqs9urr& tb%x. öNèdät!$t/#uä Ÿw tbqßJn=ôètƒ $\«øx© Ÿwur tbrßtGöku ÇÊÉÍÈ
Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul". mereka menjawab: "Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya". dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?. (QS. Al- Ma’idah 5:104)
Oleh karena itu al-Qur’an mengecam para tiran yang berusaha mempertahankan kebiasaan-kebiasaan untuk melanggengkan kekuasaan mereka. Sebagai manifestasi tiran tersebut dilambangkan dalam kisah Fir’aun yang dikisahkan berulang kali dalam al-Qur’an.

B.  Refleksi Kesadaran Diri
Sering dijumpai dalam suatu hal, al-Qur’an menyodorkan dua hal masalah yang berbeda, agar manusia dengan akal sehatnya mampu memilih. Manusia dengan segala konsekwensi atas pilihannya akan diterima secara sadar. Kemandirian manusia dalam menggunakan akal fikirannya secara reflektif akan mengantarkan kepada kesadaran diri terhadap segala konsekwensi atas pilihannya.([8])
Dalam al-Qur’an, kesadaran diri manusia kadang bermula dari kemandirian akal fikirannya dalam membaca ayat Kauniyah, dan kadang juga bermula dari pembacaan ayat Qur’aniyah. Hal tersebut biasanya dipengaruhi oleh faktor upaya pemberdayaan potensi manusia itu sendiri dengan jalan pendidikan dengan upaya pendidikan. Sedangkan hal-hal yang menimbulkan ketidaksadaran diri biasanya lebih dipengaruhi oleh faktor kesombongan, kecongkakan dan kejahilan.
Untuk mengetahui kesadaran diri biasanya melalui dua proses, pertama melalui proses ujian, dan kedua melalui proses fitnah(cobaan).([9])
a.    Ujian
Ï%©!$# t,n=y{ |NöqyJø9$# no4quptø:$#ur öNä.uqè=ö7uÏ9 ö/ä3ƒr& ß`|¡ômr& WxuKtã 4 uqèdur âƒÍyèø9$# â
qàÿtóø9$# ÇËÈ
Yang menjadikan mati dan hidup, supaya dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. dan dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun,(QS. Al-Mulk:2).
Dalam istilah kita, evaluasi sering disebut “ujian” atau “cobaan”. Ujian biasanya berkonotasi pada kondisi sebuah proses. Sementara cobaan lebih pada obyek yang telah dirasakan.
Al-Qur’an ketika menunjuk evaluatifitas kehidupan manusia dengan menggunakan beberapa istilah, di antaranya adalah: imtihan, ihtibar,i’tibar dan ibtila’.
1.    Pertama; imtihan
Kata ini digunakan dalam konteks pendidikan yang berarti meneliti kembali seraya merenungkan.
2.    Kedua; ikhtibar/ihtibar
Kata ini berarti menguji dan mencoba kembali untuk mengetahui hakekat yang ada, ia mempunyai arti menunjukkan efek yang baik. Dari sini muncul istilah ahbar yaitu orang yang dari kebaikan sikap hati dan perilakunya mampu mempengaruhi hati dan perilaku orang lain.



3.    Ketiga; i’tibar
Kata ini menunjukkan kondisi dari sesuatu yang terjadi agar dihubungkan dengan kondisi yang belum terjadi.

4.    Keempat; ibtila’
Dalam istilah indonesia, kata “balak” mempunyai dua arti; pertama pasukan atau prajurit yang berfungsi untuk menolong suatu musibah. Kedua bencana atau kecelakaan, malapetaka, kemalangan dan cobaan.([10])

b.    Fitnah (cobaan)
Fitnah terambil dari akar kata fatana yang pada mulanya berarti “membakar emas untuk mengetahui kadar kualitasnya”. Kata tersebut digunakan al-Qur’an dalam arti “memasukkan ke neraka” atau siksaan.([11])

Sementara kesadaran diri seseorang bisa jadi bermula dari pembacaan ayat kauniyah, maupun dari pembacaan ayat qouliyah/qur’aniyah. Kedua-duanya bertemu dalam satu tujuan. Ketika al-Qur’an berbicara tentang keagungan dan kemahabesaran ilahi. Ia lebih mengedepankan jalur pembacaan ayat qouliyah, meskipun tidak berarti harus meninggalkan jalur pembacaan ayat kauniyah. Hal ini lebih disebabkan karena kondisi keterbatasan manusia itu sendiri. Maka manusia berangkat dari kesadaran diri akan adanya:
1.      Petunjuk ilahi                             4. Tawakkal
2.      Sabar                                        5. Sakinah
3.      Optimis                                      6. Sabar






BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Dari makalah yang telah diselesaikan oleh penulis, maka dengan dapat disimpulkan bahwa;
1.    Pendidikan 
a.       Tujuan pokok dari pendidikan dalam suatu kata adalah FADHILAH       (keutamaan).
b.      Upaya untuk   mendekatkan diri pada Allah adalah dengan pendidikan agama sebagai priyoritas utama, tetapi segala ilmu pengetahuan yang memberikan kebaikan di dunia dan akhirat itu penting untuk dipelajari.
c.       Upaya pendekatan diri pada Allah adalah sarana menuju derajat yang paling tinngi di mata Allah.

2.    Perubahan perilaku
Pendidikan adalah salah satu upaya untuk memberdayakan potensi diri seseorang demi terlaksananya perubahan positif.



















[1])  Asrorun Ni’am Sholeh, Reorentasi Pendidikan Islam, Elsas, Jakarta, 2004, hlm. 78.
2)  M. Athiyah Al Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Bulan Bintang,Jakarta,1970, hlm.1.
3)  Asrorun Ni’am Sholeh, op. Cit., hlm. 79.


[4]) Ibid., hlm. 80. 
[5]) Ibid., hlm. 80.
[6]) Ibid.
[7]) Dr. Ahmad Munir, Tafsir Tarbawi, Teras, Yogyakarta, 2008, hlm. 183.
[8]) Ibid., hlm. 186.
[9]) Ibit., hlm. 187.
[10]) Ibid., hlm. 190.
[11]) Ibid., hlm. 197.

0 komentar:

Posting Komentar